Tuesday, July 20, 2010

~ SyArAT TiNGGAl DI NeGeRI KaFIr

Posted by ahmad bukhori


Bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali telah memenuhi tiga syarat:

1. Hendaknya seseorang memiliki cukup ilmu yang bisa memelihara dirinya dari Syubhat.

2. Hendaknya memiliki agama yang kuat untuk menjaga agar tidak terjatuh dalam Syahwat.

3. Hendaknya ia benar-benar berkepentingan untuk bepergian.

Bagi yang belum bisa menyempurnakan syarat-syarat di atas tidak
diperbolehkan pergi ke negeri kafir, karena hal itu akan menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah yang besar dan menyia-nyiakan harta saja. Sebab orang yang mengadakan bepergian biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jika ada suatu keperluan seperti berobat, mempelajari ilmu yang tidak ditemukan di negeri asal, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan memenuhi syarat yang saya sebutkan di atas.

Adapun masalah rekreasi ke negeri kafir, bukanlah suatu kebutuhan, karena ia bisa saja pergi ke negeri Islam yang menjaga syari'at Islam. Negeri kita ini (Saudi Arabia), alhamdulillah ada beberapa tempat yang cocok dan bagus untuk dibuat rekreasi ketika masa liburan.

Adapun masalah menetap atau tinggal di negeri kafir sangatlah membahayakan agama, akhlaq dan moral seseorang. Kita telah menyaksikan banyak orang yang tinggal di negeri kafir terpengaruh dan menjadi rusak, mereka kembali dalam keadaan tidak seperti dulu sebelum berangkat ke negeri kafir.

Ada yang kembali menjadi orang fasik atau murtad, bahkan mungkin mengingkari seluruh agama, sehingga banyak dari mereka pulang ke negerinya menjadi penentang dan pengejek agama Islam, melecehkan para pemeluk agama Islam, baik yang terdahulu mupun yang ada sekarang, na'udzu billah.

Oleh karena itu wajib bagi yang mau pergi ke negeri kafir menjaga dan memperhatikan syarat-syarat yang telah saya sebutkan di atas agar tidak terjatuh ke dalam kehancuran.

Bagi yang ingin menetap di negeri tersebut, ada dua syarat utama :

1. Merasa aman dengan agamanya. Maksudnya, hendaknya ia memiliki ilmu, iman dan kemauan kuat yang membuatnya tetap teguh dengan agamanya, takut menyimpang dan waspada dari kesesatan. Ia harus menyimpan rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang-orang kafir serta tidak sekali-kali setia dan mencintai mereka, karena setia dan mengikat cinta dengan mereka bertentangan dengan iman. Firman Allah.

"Artinya : Kamu tidak mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka" [QS. Al-Mujaadilah : 22]

Firman Allah.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim, maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasharani) seraya berkata :'Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasulNya) atau suatu keputusan dari sisiNya, maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka" [QS. Al-Maa?idah : 51-52]

Dalam sebuah hadits shahih Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka, seseorang selalu bersama dengan orang yang ia cintai" [HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab, bab "Tanda Kecintaan Kepada Allah Ta'ala", dan Muslim, Kitabush Shilah, bab "Seseorang itu Bersama Orang yang Dicintainya]

Mencintai musuh Allah adalah bahaya yang paling besar pada diri muslim, karena mencintai mereka berarti mengharuskan seorang muslim untuk setuju mengikuti mereka atau paling tidak mendiamkan kemungkaran yang ada pada mereka. Oleh karena itu Nabi besabda : "Barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka". [HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab, bab "Tanda Kecintaan Kepada Allah Ta'ala", dan Muslim, Kitabush Shilah, bab "Seseorang Itu Bersama Orang yang Dicintainya"]

2. Ia mampu menegakkan dan menghidupkan syi'ar agama di tempat tinggalnya tanpa ada penghalang. Ia bebas melakukan shalat fardhu, shalat Jum'at dan shalat berjama'ah jika ada yang diajak shalat berjama'ah dan Jum'at, menunaikan zakat, puasa, haji dan syi'ar Islam lainnya. Jika ia tidak mampu melakukan hal di atas, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri kafir. Karena dalam keadaan seperti ini wajib baginya hijrah dari tempat seperti itu.

Pengarang kitab Al-Mughni (8/457) menyatakan tentang macam-macam manusia yang diwajibkan hijrah. Diantaranya orang yang mampu melakukannya sementara di tempat tinggalnya ia tidak mampu menampakkan agamanya dan tidak bisa menunaikan kewajiban agamanya, maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya melakukan hijrah berdasarkan firman Allah:

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya : 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini.?' Mereka menjawab :'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)'. Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [QS. An-Nisaa? : 97]

Ancaman yang sangat berat dalam ayat ini menunjukkan bahwa hijrah hukumnya wajib, karena melaksanakan kewajiban adalah wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya, sedangkan hijrah merupakan salah satu hal yang penting dan pelengkap dari kewajiban agama tersebut. Maka jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya suatu yang lain, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Setelah dua syarat pokok tersebut bisa terpenuhi maka tinggal di negeri kafir terbagi menjadi beberapa bagian:

Pertama : Ia tinggal untuk tujuan dakwah menarik orang kedalam Islam. Ini adalah bagian dari Jihad dan hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu untuk itu dengan syarat bisa merealisasikan dakwah tersebut dengan baik dan tidak ada yang mengganggu atau menghalanginya, karena berdakwah kepada Islam adalah wajib. Itulah jalan yang ditempuh oleh para utusan Allah. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam menyuruh umatnya menyampaikan ajaran Islam, walaupun satu ayat, di mana dan kapan saja mereka berada. Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam bersabda : "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat" [HR. Al-Bukhari, Kitabul Anbiya', bab "Penyebutan Bani Israel"]

Kedua : Ia tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengenal sejauh mana kerusakan aqidah, kezhaliman, akhlaq, moral dan kehancuran sistim peribadatan orang-orang kafir. Dengan demikian ia bisa memperingatkan orang-orang untuk tidak terpengaruh dan tergiur dengan mereka dan ia bisa menjelaskan kepada orang-orang yang kagum dengan mereka. Ini juga termasuk bagian dari jihad, karena bertujuan menjelaskan kehancuran agama orang-orang kafir.

Dan ini secara tidak langsung mengajak manusia kembali kepada Islam, karena kerusakan kaum kafir menjadi bukti atas kebenaran agama Islam, seperti disebutkan kata mutiara : "Sesuatu menjadi jelas dengan mengetahui kebalikannya". Tetapi dengan syarat keinginan terealisir tanpa kemudharatan yang lebih besar daripadanya. Jika tidak terealisir maksud dan tujuan tinggal di negeri kafir seperti tersebut di atas, maka tidak ada faedahnya ia tinggal di negeri kafir. Jika ia bisa merealisasikan maksud dan tujuannya tapi kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar, seperti orang-orang kafir membalasnya dengan ejekan, memaki Islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam dan imam-imam Islam, maka wajib baginya menghentikan kegiatan tersebut berdasarkan firman Allah:

"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" [QS. Al-An'aam : 108]

Termasuk dalam bagian ini adalah orang Islam yang tinggal di negeri kafir untuk menjadi intel (mata-mata) guna mengetahui rencana orang kafir terhadap umat Islam, selanjutnya ia menginformasikan rencana tersebut kepada orang-orang Islam agar berhati-hati dan mengerti tentang tipu daya musuh Islam. Hal ini pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam saat beliau mengirimkan Hudzaifah bin Yaman ke tengah-tengah orang musyrikin di saat perang Khandaq untuk mengetahui keadaan mereka. [HR. Muslim, Kitabul Jihad, bab "Perang Ahzab"]

Ketiga : Ia tinggal sebagai duta bangsa atau kepentingan diplomasi dengan negera kafir, seperti menjadi pegawai di kedutaan, maka hukumnya tergantung tujuannya. Seperti atase kebudayaan yang bertujuan memantau dan mengawasi para pelajarnya di negera kafir agar mereka tetap komitmen terhadap agama Islam, baik dari segi akhlaq maupun moral. Dengan demikian tinggalnya di tempat tersebut mendatangkan maslahat yang sangat besar dan mampu mencegah kerusakan besar yang akan terjadi.

Keempat : Ia tinggal untuk kepentingan pribadi seperti berdagang dan berobat, maka di perbolehkan baginya tinggal sebatas keperluan yang ada dan sebagian ulama ada yang membolehkan tinggal di negeri kafir untuk tujuan berniaga berdasarkan sebuah atsar dari sebagian sahabat.

Kelima : Ia tingggal untuk tujuan belajar. Ini seperti bagian sebelumnya yaitu tinggal untuk suatu keperluan, tetapi ini lebih berbahaya dan lebih mudah merusak aqidah dan akhlaq seseorang. Karena biasanya seorang mahasiswa merasa rendah diri dan menganggap tinggi ilmu pengajarnya (dosennya), sehingga dengan mudah ia terpengaruh pemikiran, pendapat, akhlaq dan moral mereka. Selanjutnya ia mengikuti mereka kecuali orang-orang yang dikehendaki dan dilindungi Allah. Dan ini sangat sedikit jumlahnya.
Selanjutnya mahasiswa atau pelajar biasanya selalu membutuhkan pengajarnya yang akhirnya ia terikat dengannya dan membiarkan kesesatan karena kebutuhan pada gurunya. Lalu di tempat belajar, biasanya ia memerlukan teman bergaul. Ia bergaul dengan sangat akrab satu sama lain serta saling mencintai. Karena bahaya itulah hendaknya ia lebih berhati-hati.

Bagi pelajar yang ingin tinggal di negeri kafir, di samping memenuhi dua syarat yang sudah disebutkan di atas, ia harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini.

Pertama : Seorang yang hendak belajar memiliki kematangan berfikir, bisa memisahkan antara yang bermanfaat dan yang mudharat serta berwawasan jauh ke depan. Adapun pengiriman para pemuda belia yang masih dangkal pemikirannya, maka hal itu sangat berbahaya bagi aqidah, akhlaq, dan moral mereka, juga berbahaya bagi umat Islam. Di saat mereka pulang ke negerinya, mereka akan menyebarkan racun pemikiran yang mereka ambil dari orang-orang kafir, seperti telah banyak kita saksikan. Para pelajar yang dikirim ke negeri kafir itu berubah sekembali mereka ke negeri masing-masing. Mereka pulang dalam keadaan rusak agama, akhlaq, moral serta pemikirannya, hal yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri serta masyarakat. Itulah yang kita saksikan secara nyata dan riil. Pengiriman para pelajar seperti mereka ke negeri kafir bagaikan kita menyajikan daging segar kepada anjing yang lagi kelaparan.

Kedua : Seorang yang mau belajar hendaknya memiliki ilmu syari'at yang cukup, agar ia mampu membedakan antara yang benar dengan yang batil, mampu mencerna dan menghindar dari kebatilan agar ia tidak tertipu olehnya sehingga menyangka bahwa hal tersebut benar, atau merasa ragu dan kabur, atau tidak mampu melawan kebatilan tersebut akhirnya menjadi bimbang atau hanyut oleh arus kebatilan.

Dalam sebuh do'a disebutkan :



اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ وَلاَ تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلّْ


"Ya Allah perlihatkan kepadaku kebenaran sebagai suatu yang benar lalu berikan kepadaku kekuatan untuk mengikutnya, dan perlihatkanlah kepadaku kebatilan sebagai yang batil dan berikan padaku kekuatan untuk menghindarinya dan janganlah Engkau kaburkan sehingga saya tersesat".


Ketiga : Hendaknya seseorang yang mau belajar memiliki agama yang kuat sehingga bisa membentengi diri dari kekufuran dan kefasikan. Sebab orang yang lemah agamanya tidak mungkin selamat untuk tinggal di negeri kafir tersebut, kecuali yang dikehendaki Allah. Hal itu dikarenakan kuatnya serangan dan pengaruh, sementara yang bersangkutan tidak mampu mengadakan perlawanan. Banyak sekali hal-hal yang menimbulkan kekafiran dan kefasikan. Jika orang tersebut lemah agamanya, tidak memiliki kekuatan untuk melawan pengaruh tersebut, maka dengan mudah kekufuran mempengaruhinya.

Keempat : Ia belajar untuk mengkaji ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat Islam yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah dalam negeri mereka. Jika ilmu tersebut kurang bermanfaat bagi umat Islam atau bisa di dapat di sekolah-sekolah dalam negeri mereka, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri tersebut untuk tujuan belajar. Karena hal itu sangat berbahaya bagi agama, akhlaq, dan moral mereka. Juga hanya menghambur-hamburkan harta saja dengan tidak ada gunanya.

Kelima : Ia tinggal di negeri kafir untuk selamanya sebagai penduduk asli, ini lebih bahaya dari sebelumnya, karena kerusakan akibat berbaur dengan orang-orang kafir. Sebagai warga negara yang disiplin ia harus mampu hidup bersama-sama dengan anggota masyarakat secara harmonis, saling mencintai dan tolong menolong di antara sesama. Ia juga memperbanyak penduduk negara kafir. Ia terpengaruh dengan adat kebiasaan orang kafir dalam mendidik dan mengarahkan keluarganya yang mungkin akan mengikuti aqidah dan cara ibadahnya. Oleh karena itu Nabi bersabda : "Barangsiapa berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik, maka ia akan seperti mereka" [HR. Abu Daud, Kitabul Jihad, bab "Tinggal di Negeri Orang-Orang Musyrik]. Hadit ini walaupun dha'if dalam sanad-nya tapi isinya perlu mendapat perhatian. Karena kenyataan berbicara, orang yang tinggal di suatu tempat dipaksa untuk menyesuaikan diri.

Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam bersabda :
" Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal bersama-sama dengan orang-orang musyrik" Mereka bertanya : "Kenapa wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab : "Tidak boleh saling terlihat api keduanya" [HR. Abu Dawud, Kitabul Jihad, bab "Larangan Membunuh Orang yang Menyelamatkan Diri Dari Bersujud", dan At-Tirmidzi, Kitabus Siar, bab "Makruhnya Tinggal Di Antara Orang-Orang Musyrik"].

Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan kebanyakan para perawi meriwayatkan hadits ini secara mursal dari jalan Qais bin Abi Hazim dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tirmidzi berkata : "Saya mendengar Muhammad (yang dimaksud Al-Bukhari) berkata bahwa hadits Qais dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa ?ala alihi wa sallam diriwayatkan secara mursal".

Bagaimana seorang muslim merasa tenang hidup dan bertempat tinggal di negeri kafir yang secara terang-terangan syi'ar kekafiran itu dikumandangkan dan hukum yang diterapkan adalah hukum thagut yang memusuhi hukum Allah dan RasulNya, semua itu ia lihat dan ia dengar dengan perasaan rela. Ia merasa tentram tinggal di negeri tersebut layaknya hidup di negeri kaum muslimin dengan keluarganya, padahal ini sangat berbahaya bagi agama dan akhlak keluarga serta anak-anak mereka.

Demikianlah yang bisa saya paparkan tentang hukum tinggal di negeri kafir. Saya mohon kepada Allah agar penjelasan saya ini sesuai dengan kebenaran.


> Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -Rahimahullah
Kitab
Syarhu Tsalatsatil Ushu

Friday, July 2, 2010

~ HaNya AlLaH....

Posted by ahmad bukhori


Ketika laut bergemuruh, ombak menggunung dan badai kencang menerjang, semua penumpang bahtera akan panik dan berteriak pasrah, "Ya ALLAH!"...

Ketika seseorang tersesat di tengah padang sahara, kendaraan menyimpang jauh dari jalurnya, dan para kafilah bingung menentukan arah perjalanannya, mereka akan menyeru, "Ya ALLAH!"...

Ketika musibah menimpa, bencana melanda dan tragedi terjadi, mereka yang tertimpa akan selalu berseru, "Ya ALLAH!"...

Ketika pintu-pintu permintaan telah tertutup dan tabir-tabir permohonan digeraikan, orang-orang mendesah, "Ya ALLAH!"...

Ketika semua cara tak mampu menyelesaikan, setiap jalan terasa menyempit, harapan terputus dan semua sarana membuntu, merekapun menyeru, "Ya ALLAH!"...

Ketika bumi yang luas terasa menyempit dikarenakan himpitan persoalan hidup dan jiwa serasa seolah tertekan oleh beban berat kehidupan yang harus dipikul, menyerulah "Ya ALLAH!"...

Setiap ucapan baik, doa yang tulus, rintihan yang jujur, air mata bening yang menetes dan semua keluh kesah yang tiada henti yang menggundahgulanakan hati adalah hanya pantas ditujukan ke hadiratNya...

Setiap dini hari menjelang, tengadahkan kedua telapak tangan, julurkan lengan penuh harap dan arahkan terus tatapan mata ke arahNya untuk memohon pertolongan...

Hanya dengan namaMu lisan ini bersenandung, memohon keselamatan, bergumam memanggil...Hanya dengan berdzikir kepadaMu hati terasa nyaman, jiwa menjadi tenteram dan perasaan menjadi teduh, seluruh urat syaraf tak lagi menegang, sehingga bimbingan Ilahi membuahkan hasil dan menuai keyakinan, bahwa Engkau adalah Maha Lembut terhadap hambaMu...

~ SeNI BerGAul DeNGaN MaNUsiA

Posted by ahmad bukhori


Ibnul Hanafiyah –Rahimahullah berkata:

"Bukanlah termasuk orang yang bijaksana, orang yang tidak bergaul dengan cara baik terhadap orang yang dia harus bergaul dengannya, sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya dari orang tersebut."

Al-Hasan Al-Basri –Rahimahullah berkata:

"Wahai anak Adam, pergaulilah manusia dengan akhlak apa saja yang kamu kehendaki, pasti mereka mempergaulimu dengan yang seperti itu pula."

Mu'awiyah –Radhiallahu 'Anhu berkata:

"Kalau sekiranya antara aku dengan manusia terdapat sehelai rambut, pasti tidak akan terputus."

Beliau ditanya: "Bagaimana caranya?"

Beliau menjawab: "Karena apabila mereka menariknya, aku mengulurkannya dan apabila mereka mengulurkannya, aku menariknya."

Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban Al-Busti –Rahimahullah berkata:

"Barangsiapa mencari keridhaan semua manusia, dia mencari sesuatu yang tidak mungkin bisa didapatkan. Akan tetapi, orang berakal berusaha mencari keridhaan orang yang dia harus bergaul dengannya, walaupun hal itu terkadang menjadikannya menganggap baik hal-hal kebiasaan yang sebelumnya dia anggap buruk dan menganggap buruk hal-hal yang sebelumnya dia anggap baik, selama hal itu bukan merupakan suatu dosa. Sesungguhnya hal itu adalah termasuk mudarah. Berapa banyak orang yang sudah bermudarah masih belum juga selamat, bagaimana akan selamat orang yang tidak bermudarah?"

Makna mudarah sikap mudarah adalah tetap baik dan manis kepada orang lain walau kita membencinya karena kita terpaksa harus bergaul denganya dan khawatir akan keburukannya. Raudhatul ‘Uqalaa’ Wa Nuzhatul Fudhalaa’




karya Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban Al-Busti – Rahimahullah (Wafat 354 H) hlm 55 dan 56

~ SeBAb-SebAb UntUK MenDApAtkAn CInTA AlLah S.W.T

Posted by ahmad bukhori


* Membaca Al-Qur’an dengan memikir-kan dan memahami maknanya.

* Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.

* Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.

* Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.

* Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.

* Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.



* Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.

* Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur’an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.

* Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da’i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembica-raan yang baik.

* Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala .

~ OraNG-ORaNG YaNG DiCinTAi AlLaH S.W.T

Posted by ahmad bukhori


Allah Subhannahu wa Ta’ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Ma’idah: 54, yang artinya: “Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.”

Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala :

* Attawabun (orang-orang yang bertau-bat), Al-Mutathahhirun (suka bersuci), Al-Muttaqun (bertaqwa), Al-Muhsinun (suka berbuat baik) Shabirun (bersa-bar), Al-Mutawakkilun (bertawakal ke-pada Allah) Al-Muqsithun (berbuat adil).

* Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.

* Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.

* Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.

* Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.

* Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.

* Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.

~ KeUTaMAan MEncINtAi AlLAH

Posted by ahmad bukhori


* Merupakan Pokok dan inti tauhid

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’dy, “Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menye-rahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman. (Al-Qaulus Sadid,hal 110)


* Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: “Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi ,ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepada penuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami’ Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230)


* Sebagai hiburan ketika tertimpa musibah

Berkata Ibn Qayyim, “Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38).


* Menghalangi dari perbuatan maksiat.

Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): “Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya.

Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbedaan antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya.

Sampai pada ucapan beliau, “Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya. (Thariqul Hijratain, hal 449-450)


* Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was.

Berkata Ibnu Qayyim, “Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbedaan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya.
Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)


* Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan.

Berkata Ibn Qayyim, “Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta’ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencin-tai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya.

Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya.”(Ighatsatul-Lahfan, hal 567)

~ PeMbaGIan CInTA

Posted by ahmad bukhori



* Cinta ibadah

Ialah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya.
Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.


* Cinta karena Allah

Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.


* Cinta yang sesuai dengan tabi’at (manusiawi),yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:

o Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.

o Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.

o Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.

Cinta-cinta yang demikian termasuk dalam kategori cinta yang manusiawi yang diperbolehkan. Jika kecintaanya tersebut membantunya untuk mencintai dan mentaati Allah maka kecintaan tersebut termasuk ketaatan kepada Allah, demikian pula sebaliknya.

~ DeFiNIsI CiNTa

Posted by ahmad bukhori



Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; memba-tasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka ba-tasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.

Kebanyakan orang hanya membe-rikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)

Beberapa definisi cinta:

* Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).

* Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.

* Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.

* Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.

* Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.

~ PenyAkIT YanG MeNImPA PeREmPUAn TidAk BeRJiLbaB

Posted by ahmad bukhori



Rasulullah bersabda, “Para wanita yang berpakaian tetapi (pada hakikatnya) telanjang, lenggak-lengkok, kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tiada mencium semerbak harumnya (HR. Abu Daud) Rasulullah bersabda, “Tidak diterima sholat wanita dewasa kecuali yang memakai khimar (jilbab) (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, bn Majah)

Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasannya perempuan yang tidak berjilbab atau berpakaian tetapi ketat, atau transparan maka ia akan mengalami berbagai penyakit kanker ganas di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka, apa lagi gadis ataupun putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas milanoma pada usia dini, dan semakin bertambah dan menyebar sampai di kaki. Dan sebab utama penyakit kanker ganas ini adalah pakaian ketat yang dikenakan oleh putri-putri di terik matahari, dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun. dan kaos kaki nilon yang mereka kenakan tidak sedikitpun bermanfaat didalam menjaga kaki mereka dari kanker ganas.

Dan sungguh Majalah kedokteran Inggris tersebut telah pun telah melakukan polling tentang penyakit milanoma ini, dan seolah keadaan mereka mirip dengan keadaan orang-orang pendurhaka (orang-orang kafir Arab) yang di da’wahi oleh Rasulullah. Tentang hal ini Allah berfirman: Dan ingatlah ketika mereka katakan: Ya Allah andai hal ini (Al-Qur’an) adalah benar dari sisimu maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih ( Q.S. Al-Anfaal:32)

Dan sungguh telah datang azab yang pedih ataupun yang lebih ringan dari hal itu, yaitu kanker ganas, dimana kanker itu adalah seganas-ganasnya kanker dari berbagai kanker. Dan penyakit ini merupakan akibat dari sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang disekujur pakaian yang ketat, pakaian pantai (yang biasa dipakai orang-orang kafir ketika di pantai dan berjemur di sana) yang mereka kenakan. Dan penyakit ini terkadang mengenai seluruh tubuh dan dengan kadar yang berbeda-beda. Yang muncul pertama kali adalah seperti bulatan berwarna hitam agak lebar. Dan terkadang berupa bulatan kecil saja, kebanyakan di daerah kaki atau betis, dan terkadang di daerah sekitar mata; kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), dan menyerang darah, dan menetap di hati serta merusaknya.

Terkadang juga menetap di sekujur tubuh, diantaranya: tulang, dan bagian dalam dada dan perut karena adanya dua ginjal, sampai menyebabkan air kencing berwarna hitam karena rusaknya ginjal akibat serangan penyakit kanker ganas ini. Dan terkadang juga menyerang janin di dalam rahim ibu yang sedang mengandung. Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama, sebagaimana obat luka sebagai kesempatan untuk sembuh untuk semua jenis kanker (selain kanker ganas ini), dimana obat-obatan ini belum bisa mengobati kanker ganas ini.

Dari sini, kita mengetahui hikmah yang agung anatomi tubuh manusia di dalam perspektif Islam tentang perempuan-perempuan yang melanggar batas-batas syari’at. yaitu bahwa model pakaian perempuan yang benar adalah yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak ketat, tidak transparan, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan sungguh semakin jelaslah bahwa pakaian yang sederhana dan sopan adalah upaya preventif yang paling bagus agar tidak terkena “adzab dunia” seperti penyakit tersebut di atas, apalagi adzab akhirat yang jauh lebih dahsyat dan pedih. Kemudian, apakah setelah adanya kesaksian dari ilmu pengetahuan kontemporer ini -padahal sudah ada penegasan hukum syari’at yang bijak sejak 14 abad silam- kita akan tetap tidak berpakaian yang baik (jilbab), bahkan malah tetap bertabarruj???


Sumber:
Al-I’jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah,
Oleh :Muhammad Kamil Abd Al-Shomad/alsofwah

hatibening.com

~ KaCA MaTA PoSItIF SEoRAnG DaEi

Posted by ahmad bukhori


dakwatuna.com - Dalam pandangan Islam, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.

Pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat positif dan optimistik tentang manusia. Allah swt. dalam Al-Quran menyebut manusia sebagai makhluk yang paling baik atau paling sempurna. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [Q.S. At-Tin (95): 4]

Islam juga mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kemuliaan. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri merek rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”

Salah satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimistik Islam tentang manusia adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani (nuuraaniyyun). Kata ini berasal dari kata ‘nuur’ yang artinya cahaya. Jadi, nurani berarti memiliki sifat cahaya. Dengan demikian ketika kita menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’ atau ‘menerangi’ jalan hidup kita. Karena itulah Rasulullah saw. ketika ditanya seseorang tentang cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan buruk, beliau menjawab, “Sal dhamiraka, tanyalah kepada hatimu!”

Atas jawaban Rasulullah tersebut –bahwa hati kita memiliki kemampuan untuk menerangi jalan hidup kita—kaum sufi sering menyebut hati sebagai “ad-diin” (agama). Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia (ad-diin al-majbuulah) dan sangat klop dengan agama yang diturunkan dari langit (al-diin al-munazzalah), yaitu Al-Islam.

Meski begitu, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia. “… dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 28]. Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa dan mengotori kesucian jiwanya. Kelamahan inilah yang membuat manusia keluar dari kesejatiannya sebagai makhluk yang suci dan mulia.

Dalam kondisi jiwa yang kotor penuh dosa, derajat manusia bisa menjadi lebih rendah dari binatang sekalipun. “… mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” [Q.S. Al-A’raf (7): 179].

Terhadap orang-orang yang “terpeleset” dari kesejatiannya, Allah swt. memberi kesempatan dan banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri dari segala kotoran jiwa yang melekat. Mulai dari istighfar –ucapan “astaghfirullah al-azhim, aku mohon ampun kepada Allah Yang Mahatinggi– yang bisa digunakan kapanpun dan bersifat manasuka; fasilitas lima kesempatan dalam sehari melalui shalat wajib; hingga fasilitas pekanan dengan shalat Jum’at. Bagi yang menunaikan shalat Jum’at sesuai tuntunan Rasulullah saw., Allah swt. memberi ampunan dosa dari shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya.

Dan yang paling spektakular adalah fasilitas tahunan: Ramadhan! Kata Rasulullah saw., “Man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambiihi wa maa ta-akhkhara, siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan perhitungan, diampuni segala dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang.” (H.R. Ahmad dalam musnadnya, Vol. II, hlm 385. No. 8989. Tambahan “wa maa ta-akhkhara” oleh sejumlah pakar hadits dinilai lemah riwayatnya, tapi kalimat selain itu disepakati berderajat shahih).

Begitulah Ramadhan. Sesuai dengan arti namanya “pembakar”, Ramadhan membakar semua dosa-dosa seseorang muslim sehingga ia kembali ke jatidirinya sebagai insan yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).

Segala fasilitas ampunan yang Allah swt. berikan kepada manusia yang berdosa untuk kembali kepada fitrahnya adalah alasan bagi seorang dai untuk tidak ada alasan untuk tidak berdakwah kepada orang yang pembangkangannya kepada Allah swt. sekelas Fir’aun sekalipun. “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [Q.S. Thaha (20): 42-43].

Begitulah Allah swt. Kata Rasulullah saw., “Allah mengembangkan tanganNya pada waktu malam untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan keburukan di waktu siang, dan mengembangkan tanganNya di waktu siang untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan dosa di waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari terbit dari barat (kiamat).” (H.R. Bukhari)

“Allah lebih senang mendapati hambaNya yang bertobat melebihi dari kegembiraan seseorang dari kalian yang kembali menemukan hewan kendaraannya yang penuh bekal makanan setelah ia kehilangannya di padang pasir,” tambah Rasulullah saw. (H.R. Bukhari).

Jadi, tidak ada dalam kamus seorang dai kalimat “sudah tinggalin saja, dia sih sudah gak bisa dibenerin lagi!” Sebab, seorang dai selalu memakai kacamata positif dalam memandang manusia. Siapa pun dia selama sebutannya masih manusia dan belum masuk kubur, adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.